Hukuman Jadi Lebih Ringan, KUHP Baru Tidak Serius Cegah Penistaan
Wahyudi al-Maroky, Direktur Pamong Institute.

Hukuman Jadi Lebih Ringan, KUHP Baru Tidak Serius Cegah Penistaan

Menjadi semakin ringannya sanksi bagi penista agama dari maksimal lima tahun penjara di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama menjadi maksimal tiga tahun di KUHP baru yang disahkan akhir 2022, dinilai sebagai indikasi tidak seriusnya negara melakukan pencegahan penistaan terhadap agama.

“Jadi, orang-orang itu memandang ini (KUHP baru) jadi tidak serius untuk melakukan pencegahannya,” ungkap Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky dalam Bincang Perubahan: KUHP Baru Lanjutkan Penjajahan, Menggusur Pidana Islam, Selasa (14/2/2023) di kanal YouTube Bincang Perubahan.

Hukum itu, tegas Wahyudi, semestinya memberikan efek jera, efek antisipatif agar orang lain tidak turut melakukan. Bahkan kalau dalam Islam ada satu lagi, efek penghapusan dosa. “Tapi kalau kita lihat dalam konteks kenegaraan (sekarang) kan tidak menggunakan hukum Islam. Jadi, minimal efek jeranya tidak dapat juga kalau hukumannya diringankan,” jelasnya.

Padahal, jelas Wahyudi, orang menghina agama, menghina kitab suci, menghina nabi, merupakan perkara yang sangat berat. Tapi dalam konteks ini (KUHP) hukumannya menjadi ringan. Sedangkan dalam Islam, hukumannya diatur tegas. Cuma memang karena belum diterapkan jadi efeknya tidak terasa. “Kalau hukum Islamnya diterapkan, mungkin orang akan berpikir berulang kali untuk menista. Karena sekali menista bisa dihukum mati,” ungkapnya.

Maka harus ada terobosan hukum. Menurutnya, terobosan tersebut bisa dilakukan oleh hakim atau konsepnya yang harus diubah dahulu. Misalnya kalau pidana Islam diakomodir itu kan bakal memuat berbagai pasal yang memang bisa dikategorikan sebagai penjagaan terhadap nilai-nilai Islam itu sendiri dan mengakomodir bagi kepentingan umat Islam itu sendiri.

Wahyudi menjelaskan, kalau dalam Islam itu orang membunuh hukumannya dibunuh juga. Kalau mencuri, dipotong tangannya. Jadi orang berpikir berkali-kali kalau mau mencuri atau membunuh. Sekali mencuri, satu tangan putus. Mencuri lagi, tangan lainnya diputus. Kan jadi enggak bisa mencuri lagi. Kalau sekarang kan bisa mencuri berkali-kali.

“Di sinilah mungkin maqashid (tujuan/rahasia) syariahnya enggak ketemu posisinya dengan sistem hukum (yang berlaku karena) tadi, semangatnya semangat kolonialisme,” beber Wahyudi mengkritik KUHP.

Menurutnya, semangat hukum kolonialisme itu yang penting kepentingan penjajah bisa terakomodir. Perkara keadilan di masyarakat dan seterusnya itu tidak jadi perhitungan serius.

“Makanya saya bilang tadi, KUHP baru kan spiritnya masih spirit kolonialisme karena diambil, diubah-ubah saja dari (KUHP lama) warisan penjajah Belanda yang memang spirit awalnya hanya untuk mengatur kolonialisme,” pungkasnya.[]

  

Penulis: Joko Prasetyo